Di awal berdirinya, Pondok Pesantren Darul Umum ternyata memiliki
sejarah yang cukup kelam. Pesantren ini bermula dari sebidang tanah di
Desa Rejoso, Kecamatan Peterongan, Jombang, Jawa Timur. Di masa itu,
tempat ini merupakan lembah hitam para penjahat bersarang, yang masih
berupa hutan. Para penduduknya kerap berbuat onar.
"Sekarang aja masih ada tempat buat ngadu sawung ayam, bentuknya petakan
gitu," kata Zulfikar As'ad, pengasuh yang juga salah satu keturunan
pendiri Ponpes Darul Umum kepada Liputan6.com SCTV, Sabtu
(6/8). Bahkan, pada saat itu, tambah pria yang akrab disapa Gus Ufik
ini, tak banyak orang yang berani melintas ke desa itu.
Berbeda dengan KH. Tamim Irsyad. Pemuda kelahiran Desa Pareng,
Bangkalan, Madura, ini justru merasa tertantang untuk mengubah kondisi
tersebut. Santri dari KH. Cholil Bangkalan yang sebelumnya sempat
singgah di Desa Pajaran, Jombang, itu lebih memilih tinggal dan
menjadikan Rejoso sebagai ladang dakwahnya.
Pada 1885, KH. Tamim Irsyad mengawali perjuangannya dengan mengajar
mengaji. Ia dibantu sang menantu, KH. Cholil, sosok alim yang pernah
berguru pada KH. Hasyim Asy’ari di pesantren Tebuireng Jombang dan KH.
Cholil Bangkalan. Kiai Tamim yang mengajar Alquran dan ilmu hukum
syari’at. Sementara Kiai Cholil membina mental spiritual santri dengan
gemblengan ajaran tasawuf lewat amalan Thareqat Qodiriyah
Wannaqsabandiyah.
Jejak dakwah kedua kiai ini seakan menemukan cahaya. Metode dakwah yang
mereka kembangkan diminati banyak orang. Sekitar 200 santri mulai
menuntut ilmu di pesantren ini. Mereka tak hanya datang dari Jombang,
tapi juga Mojokerto, Surabaya, Madura, dan bahkan Jawa Tengah. "Karena
banyak santri dari luar kota, Kiai Tamim pun merasa harus segera
mendirikan pondok para santri," ucap Zulfikar.
Kiai Tamin lantas mulai mendirikan sebuah surau pada 1898 dan membangun
sebuah lokasi baru tiga belas tahun kemudian. "Surau itu sendiri masih
terawat baik dan masih dipakai balai pertemuan dan pengajian," ujar Gus
Ufik.
Pengajaran di pesantren ini semakin berkembang pesat seiring datangnya
adik KH. Cholil, KH. Syafawi, yang mengajar bidang studi ilmu tafsir dan
ilmu alat. Sayang, Kiai Syafawi tak berusia panjang. Ia wafat pada
1904. Dua puluh enam tahun berselang, Kiai Tamim menyusul. Maka,
pesantren ini pun hanya menyisakan Kiai Cholil sebagai pengasuh tunggal.
Namun, Kiai Cholil tidak terlalu lama mengasuh pesantren sendirian.
Sebab, tak lama kemudian, KH. Romly Tamim tampil seusai nyantri di
Tebuireng dan berguru kepada KH. Akhmad Jufri Karangkates Kediri serta
KH. Zaid Buntet Cirebon. Putra ke dua Koai Tamim Irsyad itulah yang
kemudian meneruskan tugas dan tanggung jawab ayahnya dalam pengajaran
ilmu syari’at.
Pada 1937, Kiai Cholil wafat. Dia digantikan anaknya, KH. Dahlan Cholil
yang sempat mengenyam pendidikan agama di Mekah usai nyantri di
Tebuireng. Kiai Romli dan Kiai Dahlan yang kemudian memimpin
perkembangan pondok pesantren pada periode 1937-1958.
Di tangan kedua tokoh muda inilah, lembaga pendidikan dakwah Islamiyah
itu mulai menunjukkan identitasnya. Mereka memberikan nama untuk
pesantren ini dengan sebutan Pondok Pesantren Darul Ulum yang berarti
rumah ilmu.
Pengkajian ilmu pengetahuan pada periode ini kian pesat dan tidak hanya
berkutat pada ilmu agama saja. Wawasan keilmuan yang bersifat umum pun
mulai diajarkan. Pembagian tugas antara tokoh-tokoh yang ada kian jelas
dengan adanya pembentukan struktur organisasi pondok.
Kiai Romli Tamim memegang kebijakan umum pesantren serta ilmu thasawuf
dan thareqat Qodiriyah Wannaqsyabandiyah. Sementara Kiai Dahlan Cholil
berperan pada kebijakan khusus siasah atau manajemen dan pengajian
syariat plus al-Qur’an. Kiai Ma’soem Cholil, adik Kiai Cholil Dahlan,
mengemban tugas organisasi sekolah dan manajemen.
Sementara adik Kiai Romli Tamim dan Kiai Umar Tamim sebagai pembantu
aktif di bidang ketarekatan. Semua tugas tersebut masing-masing dibantu
santri-santri senior, seperti KH. Ustman Al Isyaqi yang berasal dari
Surabaya dalam praktikum tarekat Qodiriyah Wannaqsyabandiyah.
Pada 1938, didirikanlah sekolah klasikal yang pertama di Darul Ulum yang
diberi nama Madrasah Ibtidaiyyah Darul Ulum. Sebagai tindak lanjut
pendidikan madrasah ibtidaiyyah tersebut, pada 1949 didirikanlah
Madrasah Mu’allimin untuk putra. Sementara untuk putri baru dibangun
pada 1954. Saat itu jumlah siswanya mencapai tiga ribu.
Anggota jam’iyah Thareqat Qadiriyah Wannaqsabandiyah pun bertambah.
Selain Jombang, jemaah yang tergabung berasal dari beberapa kabupaten
lain, seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, bahkan ada
Sulawesi Selatan. "Hingga sekarang, kita masih bisa menyaksikan
ritualnya di pusat latihan Rejoso jika jam’iyah ini mengadakan perayaan
khusus bagi warganya."
Duka menyelimuti keluarga pesantren Darul Ulum saat harus ditinggal
kedua tokoh sentral tersebut pada 1958. Kyai Dahlan wafat di bulan
Sya’ban, disusul Kiai Romly pada bulan Ramadhan. Pesantren Darul Ulum
pun mengalami kesenjangan kepemimpinan, terutama dalam bidang tarekat
dan ilmu Alquran.
Sepeninggalan kedua tokoh tersebut, Darul Ulum masih memiliki Kiai
Ma’soem Cholil. Sayang, estafet kepemimpinan kepada Kiai muda ini tak
berlangsung lama. Tiga tahun berselang, dirinya wafat. Darul Ulum
kembali bangkit seiring tampilnya Kiai Bisri Cholil dan KH. Musta’in
Romly sebagai pemimpin utama. Darul Ulum banyak mengalami perubahan pada
bidang struktur organisasi, bentuk pendidikan, maupun bidang sarana
fisik.
Pada 1965 didirikanlah Universitas Darul Ulum sebagai kelanjutan wadah
pendidikan. Universitas ini memiliki enam Fakultas, Alim Ulama
(Ushuluddin), Hukum, Sosial-Politik, Pertanian, Ekonomi, serta Ilmu
Pendidikan. Di kepemimpinan KH. M. As’ad Umar, pesantren ini mengalami
masa keemasan. Tugas kelembagaan semakin rinci sesuai profesi
perseorangan yang duduk di personalia lembaga.
Selanjutnya, pesantren ini dibagi tiga lembaga, Yayasan Darul Ulum,
Yayasan Universitas Darul Ulum, serta Yayasan Thareqat Qodiriyah
Wannaqsyabandiyah. Masing-masing yayasan tersebut terikat nilai dan
norma misi kelembagaan Darul Ulum yang termuat dalam garis besar
Khiththah Trisula.
Sekarang, pesantren ini telah memiliki 16 sekolah formal, MIN, MTsN, MTs
Plus, MAN, MA Unggulan, SMP I, SMPN 3 Unggulan, SMA DU I Unggulan
BPP-Teknologi, SMA DU II Unggulan BPP-Teknologi (RSNBI), SMA DU III, SMK
I & II, SMK TELKOM, Sekolah Tahassus Al-Qur’an, UNIPDU, dan UNDAR.
Pesantren ini juga mengembangkan sekolah non formal. Di antaranya
pendidikan kepramukaan, pendidikan leadership, pengajian weton,
pengajian bandongan dan sorogan, pendidikan qiro’at Alquran, serta
pendidikan kader organisasi.
Pesantren ini didukung sarana dan prasarana yang memadai. Saat ini,
Darul Ulum memiliki 14 gedung sekolah formal dengan 108 lokal, dua
gedung keterampilan, sembilan aula pertemuan, satu masjid, sebelas
musala, dua kantor pusat, dan tiga belas kantor unit. Pesantren ini juga
dilengkapi empat kantin makan, enam sarana wartel, satu pusat koperasi,
satu unit kantor Bank, satu unit usaha kesehatan pondok (UKP), lima
laboratorium IPA, delapan laboratorium bahasa, dan satu laboratorium
komputer. "Bahasa Jepang juga ada," jelas Gus Ufi.
Guna menampung sedikitnya 7.000 santri, telah disediakan 34 gedung
asrama dengan total 234 kamar. Bagi santri yang gemar berolahraga,
pesantren telah menyediakan dua lapangan sepakbola, delapan lapangan
bulu tangkis, delapan lapangan basket, serta 13 lapangan tenis meja. Tak
ketinggalan, sarana ini dilengkapi dengan gedung Islamic Center dan
Rumah Sakit UNIPDU.
Semua siswa yang bersekolah di pesantren di atas area seluas 40 hektare
itu wajib tinggal dan mengikuti pelajaran di asrama. Sama seperti pondok
beraliran salaf lainnya, selain mengkaji kitab kuning, banyak aturan
ketat yang harus dipatuhi para santri. Aturan itu di antaranya, santri
dilarang membawa telepon seluler dan merokok. Bagi santri yang berniat
membawa laptop atau komputer jinjing, harus dititipkan.
Dengan semua fasilitas tersebut, lulusan pesantren Darul Ulum diharapkan
tak hanya fasih dalam ilmu agama, tapi juga menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi serta memiliki mental spiritualitas yang mumpuni.(BOG)